Menu

Pada Akhirnya, Kita yang harus Bertanggung Jawab pada Hidup dan Penghidupan Kita

Pada Akhirnya, Kita yang harus Bertanggung Jawab pada Hidup dan Penghidupan Kita

Beberapa waktu yang lalu pak Dahlan Iskan menulis artikel pengingat : Jangan Takut Beli Ikat Pinggang.

Pak DI menulis mengenai pengalamannya menghadapi masa krisis di tahun 1988, 1998, 2008 dan terkait situasi 2018. Kelihatannya seperti angka mistis siklus 10 tahunan, meski pak DI sampaikan namanya krisis tidak peduli siklus jika perusahaan tidak bersiap.

Tahun 1988 saya belum lulus SD, namun karena senang membaca koran, saya sudah kerap mendengar mengenai paket ekonomi pak Harto termasuk soal Tight Money Policy atau kebijakan uang ketat di tahun 1988. Anak SD tapi bacaannya kategori kelas berat meski kadang saya tidak mengerti beberapa istilah tertentu yang sulit dipahami anak usia SD.

Tahun 1998 saya mengalami sendiri keadaan sulit saat pak Harto lengser. Salah satu hal yang mendasari proses resign saya dari pabrik di tahun 1999 dan kemudian berpindah jalur menjadi Assisten Lab di kampus adalah ekonomi sulit kala itu. Menjadi assisten lab di kampus sama sulitnya, karena sebagai assisten baru, pendapatan saya hanya Rp. 18 ribu seminggu. Dengan biaya makan siang di warteg sebesar Rp. 2.000,- per sekali makan, itu artinya saya hanya bisa makan 2x sehari pada hari tertentu saja, sisanya cukup makan sekali sehari.

Meski kelihatannya menyedihkan, pengalaman itu mendidik saya untuk lebih memprioritaskan keperluan yang paling penting terlebih dahulu. Saya memilih resign dari pabrik meski untuk itu saya harus berhemat habis-habisan dan menjalani masa suram dalam hal makan, karena saya sedang mengikuti naluri saya untuk berinvestasi di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Saat itu naluri menguatkan saya agar semangat bersusah-susah diperiode awal agar nantinya punya bekal cukup dan beragam dalam mencari pilihan pekerjaan yang lebih baik.

sumber gambar : pixabay

Saya jadi lebih rajin beraktivitas, sehingga bisa mendapatkan tambahan pemasukan. Minimal keperluan makan 2x sehari bisa terpenuhi. Saya juga belajar lebih giat, menggunakan uang tersisa untuk rental komputer. Melancarkan kebiasaan mengetik dengan mengetik cerpen dan membuat program aplikasi.

Tahun 2008 saya tidak terlalu merasakan krisis karena memang sudah terbiasa krisis. Sebagai staff di sebuah perusahaan di Tanjung Priok, pendapatan saya terasa tidak memadai apalagi setelah Zeze Vavai lahir di tahun 2006. Hal ini membimbing saya untuk mencari sumber pendapatan yang bisa membantu saya memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hal itu juga yang mendorong saya merealisasikan Excellent, yang dimulai dari kamar depan rumah yang belum ditempati. Saya memulai Excellent tanpa modal, dengan bekal pengetahuan yang saya dapatkan sebelumnya. Karena tanpa modal, hasil yang didapatkan merupakan tambahan penghasilan yang sangat berharga.

Saya masih ingat saat bekerja di Tanjung Priok saya pernah mengirimkan artikel ke majalah Infolinux. Artikelnya dimuat dan saya senang sekali karena bisa nampang di majalah sekaligus mendapat honor juga. Saya juga beberapa kali melakukan review suatu artikel dengan bayaran rata-rata $5, memasang link dengan bayaran beberapa US$ sampai yang tertinggi sebesar 60$ untuk 1 bulan. Saya juga pernah mendapatkan permintaan pasang artikel terkait mail hosting dengan biaya $220, yang rasanya seperti menelan segelas madu karena tugas saya hanya memasukkan artikel yang diberikan dan mengirimkan linknya, tak lama kemudian uang $220 tiba di PayPal saya dan bisa dicairkan dengan mudah.

Di tahun 2018, saya sudah menjalani proses di Excellent secara definitif selama 8 tahun meski secara riil sudah lebih dari 10 tahun. Dengan tagihan biaya hosting dan cloud dalam bentuk US$ atau Euro sedangkan pendapatan dalam bentuk rupiah, kami harus menyiasati naiknya pengeluaran akibat turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dengan menghemat apa yang harus dihemat dan membuka sumber-sumber pendapatan yang lain. Meski masih berbentuk perusahaan kecil, kewaspadaan ini perlu karena kami menyadari sepenuhnya bahwa uang tidak mengenal loyalitas. Para investor logikanya hanya punya loyalitas pada profit, jadi jika suatu negara dianggap tidak memberikan profit (atau jika ada profit malah tergerus nilai tukar mata uang), otomatis uang akan mengalir ke tempat yang lebih menguntungkan, meski tentu saja hal ini bisa diciptakan dan diskenariokan.

Saya masih ingat ada salah satu ekonom pernah sesumbar di tahun 2013-2014 bahwa dollar akan turun dibawah 10 ribu rupiah, kalimat yang mengajarkan bahwa bisa saja suatu pendapat itu partisan, mendorong kearah tertentu dan belum tentu juga bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kalau bicara pembenaran, hal tersebut juga sah-sah saja karena kan siapa yang tahu perubahan kondisi dimasa depan. Yang bisa dilakukan hanya membuat prediksi, yang tentu saja harusnya dilakukan secara netral tanpa beban.

Kadang sungkan juga berbicara yang kira-kira menyentuh politik, namun fokus saya sebenarnya tidak ada urusan dengan politik. Meski kita berbicara berbusa mengenai politik maupun hal-hal yang sifatnya global, pada akhirnya kita harus menyadari bahwa kita harus tetap menapak dibumi (down to the earth), menyadari bahwa kita harus tetap mencari nafkah sehari-hari.

Terlibat dalam diskusi memang melatih nalar, daya kritis dan pengetahuan kita, namun jangan sampai hal tersebut melupakan esensi kebutuhan dan tanggung jawab kita menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Pesan pak Dahlan Iskan bukan sembarang pesan, karena ia pengusaha sekaligus mantan pejabat di pemerintahan, jadi tentu punya wawasan yang luas. Tentu sukar jika harus menulis suatu pesan secara harfiah namun pesannya itu bisa dimaknai bahwa pada akhirnya kita yang harus bertanggung jawab pada keberlangsungan hidup, bisnis dan usaha kita. Bukan menggantungkannya pada pemerintah karena masing-masing punya porsi pekerjaan yang harus dijalani.

Hidup kita milik kita, susah maupun senang, kita juga yang menjalaninya.

Masim Vavai Sugianto

Menu