Menu

Kisah di Kampung : Balada Anak Nakal

Kisah di Kampung : Balada Anak Nakal

Karena terletak diperbatasan kampung, nama kampung saya kadang campur-campur. Sebagian menyebutnya kampung Warung Asem sedangkan sebagian lagi menyebutnya kampung Buwek Seberang. Lokasinya ada di Desa Sumber Jaya Kecamatan Tambun Kabupaten Bekasi

Tahun 1980-1990, sebagian besar wilayah tempat saya tinggal masih berupa pesawahan dan kebun. Antara kampung saya dengan kampung lain dibatasi lahan sawah yang cukup luas. Sebagian pedagang lebih senang lewat pematang sawah untuk sampai ke seberang kampung, karena bisa memotong jalan daripada memutar ke jalan lain.

Saat sore sepulang sekolah, saya dan teman sebaya biasanya berkumpul di ujung sawah kampung kami. Jika ada pedagang yang berjalan dari kampung kami ke kampung seberang, biasanya kami menunggu sampai ia agak jauh. Setelah agak jauh, kami berteriak,

“Bang, geli bang…”

Dari jauh terdengarnya seperti ada yang berteriak “beli” jadi si abang penjual berbalik ke tempat kami berkumpul. Setelah sampai, dia bertanya, “Beli berapa de..”

Dan kami langsung jawab, “Beli? Siapa yang beli. Kita kan bilangnya geli, hehehe….”, demikian jawab kami sambil serabutan lari menghindari si abang-abang yang kalap melempar kami dengan sampah dan batang kayu sambil mengomel-ngomel.

Pernah juga ada abang-abang yang bersepeda melintasi pematang. Karena sebel melihatnya mahir mengendarai sepeda di pematang sawah, kami memanggilnya, “Bang…. Bang…”

Main taruhan ya, itu orang kalau lagi naik sepeda di pematang sawah kemudian dipanggil, dia refleknya bukan menghentikan sepeda melainkan menengok ke belakang. Itu juga yang terjadi pada si abang-abang. Dia menengok ke belakang dan sepedanya terjerumus, nyungsep ke sawah. Kami tertawa terbahak-bahak dan si abang-abang misuh-misuh nggak keruan hehehe…Lain waktu musim hujan. Sawah yang membatasi kampung kami dengan kampung seberang kebanjiran sehingga mirip seperti lautan. Pematang sawah tidak kelihatan karena terendam air. Biasanya rekan sekelas kami yang tinggal di kampung seberang tetap melewati jalur pematang itu, karena memang jaraknya lebih dekat. Sepanjang mereka mengikuti jalur pematang yang lurus, mereka tidak akan tercebur ke sawah.

Karena kami beberapa kali selisih paham saat main, kami membalasnya dengan cara menggali pematang di bagian tengah. Kami menggali lubang dengan cara menggali pematang dengan tangan. Karena tanahnya gembur, jadi kami mudah saja menggali lubangnya. Setelah digali, tak terlihat ada lubang karena air banjir yang keruh dan cukup tinggi membuat permukaan tanah tidak kelihatan.

Tinggal menunggu waktu saat rekan sekelas kami melewatinya. Agar tidak basah, biasanya mereka menyimpan sepatu didalam plastik kresek, sementara buku disimpan di tas. Mereka jalan “nyeker” alias tidak menggunakan alas kaki melewati pematang sawah yang kebanjiran.

Awalnya mereka pelan-pelan menapakkan kaki, selain karena licin juga karena khawatir salah jalan. Namun setelah beberapa saat, mereka cukup yakin dan berjalan sebagaimana saat pematang terlihat.

Hal yang sangat menggelikan adalah saat rekan yang percaya diri itu berjalan sambil bernyanyi-nyanyi dan tiba-tiba kakinya terperosok kedalam lubang dan mereka jatuh duduk sehingga celana dan sepatunya basah. Dari jauh kami dengan kejamnya menertawakan mereka sementara mereka mengambil lumpur dan melempari kami.

Kisah di Kampung : Balada Anak Nakal

Jika ditinjau dari situasi sekarang, kenakalan yang dulu dilakukan sudah masuk kategori nyebelin dan bahkan mungkin membahayakan. Tapi saat itu kami hanya berpikir bahwa hal itu lucu. Kadang rekan yang kami isengi itu membalas kami dalam bentuk lainnya. Jadi impas.

Saya sendiri pernah mendapat karma gara-gara kenakalan itu.

Satu waktu ada pertandingan sepak bola di kampung sebelah. Saya bisa kesana melalui jalan raya namun saya memilih melewati pematang sawah karena jika lewat jalan raya harus memutar jauh dan juga ramai kendaraan. Saat almarhumah kakak saya mengingatkan, “Nanti kalau lewat sawah bisa nyebur…”, saya hanya menjawab belagu, “Kalau nyebur tinggal bangun lagi”

Jadilah saya naik motor melewati pematang. Awalnya lancar saja karena pematangnya cukup lebar. Lama-lama pematangnya mengecil dan saya bingung karena tidak bisa berputar arah. Mau menuntun motor juga tidak bisa karena posisinya sempit. Akhirnya saya terus mengendarai motor sambil berhati-hati menjaga keseimbangan. Saya hampir sampai di tujuan saat tiba-tiba ada lubang di tengah pematang sawah. Reflek saya mengerem motor dan karena jalan sempit, kaki saya tidak bisa menahan keseimbangan dan terguling ke sawah.

Saya berteriak minta tolong tapi tidak ada yang datang. Ada bapak-bapak di tengah sawah di kejauhan namun dia juga hanya memperhatikan saja. Mungkin dia heran melihat ada bocah konyol naik motor di pematang sawah. Bisa juga itu karma saya karena dulu iseng pada orang lain.

Akhirnya saya berusaha sekuat tenaga menegakkan motor dan menaikkannya ke pematang. Separuh badan saya penuh lumpur sehingga akhirnya saya terpaksa mencuci motor dan badan saya di saluran irigasi, kemudian mencuci ulang di di sebuah sumur timba dekat situ dan memutuskan pulang ke rumah, batal menonton bola.

Tuhan maha tahu, tapi Ia menunggu 🙂

Masim Vavai Sugianto

Menu