Menu

Excellent Insight Day #18 : Memberikan yang Terbaik

Excellent Insight Day #18 : Memberikan yang Terbaik

 

Salah satu mindset penting yang menjadi kebiasaan orang-orang sukses di dunia, sebut saja Kiichiro Toyoda, Sakichi Toyoda, Konosuke Matsushita, Elon Musk, Bill Gates hingga Steve Jobs adalah karena mereka melakukan segala sesuatu bukan sekedar memenuhi kewajiban saja, melainkan lebih dari itu, mereka selalu memilih untuk memberikan yang terbaik untuk pekerjaan yang dilakukannya.

Steve Jobs misalnya, dia bisa menjadi cerewet hanya untuk urusan kemasan produk. Dia juga cerewet bahkan untuk benda yang tidak dilihat oleh customer-karena ada disisi dalam perangkat-karena ia ingin segalanya adalah yang terbaik.

Jadi insight kali ini disarikan dari pengalaman kecil di Excellent, bahwa mindset memberikan yang terbaik itu bisa kita mulai dari hal sederhana. Selamat membaca.

Referensi Gambar : www.brainyquote.com

Setelah sekian lama, akhirnya beberapa hari yang lalu blender (juicer) hadir di markas Excellent Premier Serenity. Apa istimewanya? Hanya blender kok. Bukannya tinggal beli? Harganya juga nggak sampai 1 juta rupiah…

Justru itu istimewanya. Harganya relatif terjangkau saja kok butuh waktu lama buat membelinya, hehehe…

Sejujurnya, saya tidak hendak membahas soal blendernya sekarang sih, melainkan membahas peristiwa yang menyertainya kemudian.

Karena blender sudah ada, saya meminta salah satu team-mas Devay yang biasa menangani urusan ‘rumah tangga Excellent’-untuk membeli buah. Sebelum membeli buah, saya menanyakan juice kesukaan masing-masing. Ada yang senang juice alpukat, mangga, jeruk, strawberry dan apel. Saya sendiri senang apel dan belimbing namun juice lain juga tidak menolak.

Setelah tahu jenis kesukaan masing-masing, saya meminta mas Devay untuk membeli buahnya.

“Di pasar baru belakang biasanya suka ada yang jual jeruk peras dan strawberry mas. Ada juga nanas, jambu, melon dan lain-lain”.

Hari itu saya pulang cepat, jadi tidak tahu team membuat juice apa saja. Saat esok hari mengecek kulkas, saya geleng-geleng kepala. Akhirnya saya memanggil team untuk briefing sebentar. Saya sampaikan bahwa,

“Mas Devay, ini nama ‘excellent’ bukan sembarang nama dipilih mas. Excellent itu artinya yang paling baik. Terbaik. Bisa dibilang sempurna. Jadi kalau pilih segala sesuatu, usahakan yang bagus. Yang baik. Kalaupun bukan yang paling mahal, paling tidak yang paling baik. Minimal baik, jangan yang jelek…”

Saya melanjutkan dalam bahasa Bekasi, “Coba lihat ini. Ini alpukat udah kayak mateng digeblogin (matang dibanting-banting). Kulitnya kalo diteken udah pada emod (lunak seperti busuk). I don’t get it! Ini bagaimana bisa staff Excellent diberikan makanan seperti ini?”

“Saya nggak mau team Excellent dikasih makanan seperti ini. Harus yang bagus. Buah pilih yang bagus. Kue juga pilih yang bagus. Saya lebih pilih buah sedikit tapi bagus semua daripada buah banyak tapi jelek semua”

“Saya tidak mau anak Excellent sakit perut gara-gara makan juice buah yang tidak bagus. Biaya dan kerugian team gara-gara sakit perut jauh lebih besar dari harga buahnya. Gimana kalau sebagian besar team pada diare. Klien tanya jadi nggak responsif. Klien jadi komplain. Kualitas layanan jadi drop..”

Terus terang saya tidak bermaksud jaim atau apalah-apalah. Diawal briefing juga saya tegaskan bahwa saya tidak bermaksud “mempermalukan” atau membully mas Devay didepan seluruh team. Saya harus briefing seluruh team karena itu contoh kasus bagus mengenai DNA Excellent. Mengenai prinsip utama yang harus dipegang oleh setiap stake holder Excellent. Memberikan yang Terbaik.

Ini juga sebenarnya peringatan ketiga. Yang pertama, saya pernah meminta mas Devay membeli kangkung untuk makanan tambahan ikan gurame dan ikan lele. Saya bilang, “tidak perlu kangkung organik mas. Lha kita aza belum tentu makan kangkung organik kwkwkwkw… Cukup kangkung biasa saja, tidak lebih dari Rp. 5000. Cukup 2 atau 3 ikat saja…”

Ternyata mas Devay kembali dengan segambreng kangkung yang daunnya sudah berwarna kekuning-kuningan. Banyak sekali. 1 kantong plastik besar. Dengan bangga mas Devay bilang, “Ini cuma goceng (Rp. 5000) boss…”

Zzzzzz….

Ya pantas saja dengan uang 5000 rupiah dapat segambreng karena itu kangkung sudah mendekati ajal. Ikan saja sudah nggak mau makan. Akhirnya jadi terbuang. Mas Devay melanggar prinsip utama Excellent lainnya, yaitu “Kalau dibilang A harus A, jangan A minus jangan A plus”, Excellent Insight Day #18 : Memberikan yang Terbaik😛

Yang kedua adalah saat mas Devay saya minta membeli pisang untuk pisang goreng. Saya bilang pilih pisang yang bagus, pisang Tanduk boleh, pisang Uli boleh. Ternyata ia kembali dengan sekantung besar pisang uli yang bentuknya nggak keruan. Ada yang bantet ada yang bungkret (bentuknya bengkok-bengkok) namun semuanya sejenis, yaitu matang muda alias matang dipaksa. Gimana saya bisa tahu? Nggak perlu jadi anak kampung seperti saya sih, itu pisang dilihat sekilas saja sudah ketahuan pisang muda atau pisang tua.

Saat itu ucapan saya dibriefing adalah, “Jika memilih sesuatu, pilih yang terbaik. Jangan memilih sesuatu yang kita sesali, yang bikin kita sebel dan membuat suasana hati tidak enak. Kalau kita melakukan sesuatu asal-asalan, hasilnya merugikan semua. Contohnya pisang ini. Si petani dapat uang sedikit karena pisang muda sudah dipetik dan dijual. Si pedagang dapat untung sedikit karena pisang muda murah harganya dan bisa jadi malah tidak bisa terjual. Mas Devay rugi karena jadi kena marah. Dan saya rugi karena pisang muda itu sepet dilidah nggak enak dimakan”

Hasil akhirnya, saya meminta mas Devay membawa pisang itu pulang. Saya nggak tahu apakah mas Devay mengolah semuanya atau tidak, namun besoknya ia mengakui pisangnya memang nggak enak dimakan, hehehe…

Penting sekali melakukan segala sesuatu sebaik mungkin sehingga itu saya sebut DNA Excellent dan saya sampai perlu melakukan briefing team, karena kalau bekerja asal-asalan dan serampangan, cepat atau lambat implikasinya besar sekali.

Kadang ada yang bilang, “Yahelah, soal kecil gitu saja kok…”. Nah justru itu. Justru karena soal kecil saja tidak bisa beres, bagaimana bisa membereskan soal besarnya…

Melakukan segala hal sebaik mungkin dan memberikan segala sesuatu yang terbaik yang bisa kita berikan tidak terkait dengan balasan atau reward. Kita tidak perlu menunggu melakukan yang terbaik hanya karena reward yang kita terima dirasa belum sepadan. Ini soal kepuasan batin dan peningkatan kualitas pribadi kita.

Mungkin saja kita sudah memberikan yang terbaik namun perusahaan/tempat kerja seperti kurang menghargai secara maksimal. Tidak perlu khawatir dan jangan malah menurunkan standar kualitas kita. Jika terjadi kondisi seperti itu, bukan kita yang khawatir melainkan justru perusahaan yang harus khawatir.

Saya pernah membaca kisah Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita corporation (Panasonic). Ia sudah mulai bekerja sejak masih muda sekali. Meski pekerjaan awalnya tidak keren, ia melakukan segalanya sebaik mungkin. Bukan hanya untuk sekedar makan penyambung hidup dan sekedar untuk gaji, melainkan untuk kepuasan batin dan kualitas hidup. Dari awalnya hanya pegawai rendahan hingga kemudian karirnya berkembang dan seterusnya membangun perusahaan sendiri.

Kisah sejenis bisa dibaca pada buku mengenai Toyotomi Hideyoshi, salah satu tokoh pemersatu Jepang. Salah satu keistimewaannya adalah bisa menemukan hal menarik disetiap pekerjaan yang ia jalani. Ia bekerja bukan sekedar untuk makan menghidupi tubuhnya namun juga untuk jiwanya. Jika mengacu ke bukunya Matsushita, judulnya sangat sesuai dengan prinsip tersebut, yaitu : “not for a bread alone”…

Jadi, lakukan hal sebaik mungkin, nanti rezeki akan mengikutinya… Hasil akhir, tidak akan pernah menghianati usaha Excellent Insight Day #18 : Memberikan yang Terbaik

Referensi Artikel :

  1. To Be Successful, Do Only What You Do Best

Action :

Tanamkan kedalam mindset kita untuk selalu melakukan segalanya dalam bentuk yang terbaik. Meski untuk pekerjaan yang menurut kita tidak keren. Jangan menunda karena ingin menunggu pekerjaan lain atau hal lain yang lebih sesuai. Jangan melakukan sesuatu hanya sekedar memenuhi kewajiban formalitas kita saja.

Masim Vavai Sugianto

Menu