Menu

Hidup Sulit Masih Sempat Facebookan?

Hidup Sulit Masih Sempat Facebookan?

Beberapa waktu yang lalu ada 2 status yang melintas di timeline Facebook saya. Yang pertama adalah status mengenai salah seorang rekan yang mengeluh bahwa hidupnya sangat sulit sampai-sampai tidak punya cadangan uang meski sekedar untuk memenuhi keperluan mendasar. Status yang kedua adalah mengenai hidup yang semakin morat marit karena berbagai sebab dan berujung pada timbulnya hutang dimana-mana.

Saya berusaha tidak menghakimi seseorang dari sekedar status di sosial media, karena bisa saja tidak fair. Hanya saja, status tersebut jadi menggelitik saya sekedar untuk berkomentar, “Lah kalau hidupnya sangat sulit, kok masih sempat-sempatnya main Facebook…”.

Image by acandraja on Pixabay

Ya memang sih, hasilnya adalah saya jadi menghakimi seseorang. Habisnya mau gimana ya. Saya suka gemes sama orang yang mengeluhkan sesuatu tapi dia sendiri tidak berusaha untuk mengatasinya. Apa mungkin sudah berusaha kesana kemari dan mentok hingga akhirnya ia tuliskan di status Facebook?

Saya juga gemes pada orang yang mengeluh kalau ia banyak hutang untuk keperluan hidup, tapi kalau dilihat dari status di sosial media, dia kelihatannya baik-baik saja. Jajannya kelihatan baik-baik saja. Tidak ada kelihatan situasi kritis yang ia alami. Posting soal aktivitas dia ngebakso atau jalan-jalan ke mall sepertinya bertolak belakang dengan statusnya yang bilang kalau dia banyak hutang. Apa dia nggak takut ditagih pemberi hutang yang melihat statusnya itu?

Menulis posting seperti ini memang beresiko, karena bisa saja banyak orang yang sebel karena saya seperti sok tahu. Bisa saja realitanya berbeda. Karena menjadi pengamat amatiran dan keperluannya juga untuk keperluan review internal, apa yang saya lihat sebatas apa yang ditampilkan. Jadi harap maklum.

Maksud saya seperti ini. Kalau memang kehidupan yang dialami sudah sedemikian sulit sampai masuk tahap kritis dan ditunjukkan dengan kebutuhan hidup mendasar yang tidak bisa dipenuhi, tindakan kita juga harus selaras untuk mengatasinya. Jika perlu off dari semua sosial media. Kita memang butuh hiburan untuk keseimbangan hidup, tapi kan kita lagi kritis. Kebutuhan pokoknya harus diperjuangkan. Usahakan dulu kebutuhan pokoknya. Kebutuhan primernya. Baru kebutuhan yang lain menyusul.

Jika sosial media seperti Facebook dianggap sebagai hiburan, kan hiburan itu masuk kategori tersier. Kebutuhan primernya itu Pangan, Sandang, Papan. Makanan, pakaian dan rumah. Itu dulu yang dipenuhi. Baru kebutuhan sekunder seperti keperluan pendidikan, kursus dan lain-lain.

Kalau buat makan saja sulit, mengapa harus bela-belain isi pulsa buat Facebookan? Kecuali Facebookan itu untuk usaha, misalnya jualan online yang hasilnya untuk keperluan makan, itu masih bisa dimaklumi. Kalau Facebookan sekedar untuk gaya hidup, rasanya terbalik karena seharusnya handphone saja dijual untuk beli makanan…

Kita kadang butuh semacam terapi kejut. Baru sadar kalau sudah dikejutkan. Misalnya saat membaca tulisan yang bikin sebel seperti ini. Bisa juga saat mendapat pengalaman tidak mengenakan, misalnya dimaki orang lain karena kita cuma berjanji tanpa pernah ditepati. Jika kita mengalami terapi kejut seperti itu atas sebab kesalahan kita sendiri, harusnya kita bukan marah melainkan berterima kasih.

Kita ini sudah susah tapi masih berusaha membuat kesenangan semu seolah-olah baik-baik saja. Itu memang perlu dibuat terapi kejut. Kita ini sudah keseringan kasih janji palsu ke orang lain, ya sudah sepantasnya kita diberikan terapi kejut karena terapi normal sudah tidak mempan. Masya kita harus menunggu sampai timbul kejadian yang lebih parah baru mau menyadari kesalahan kita?

Jadi jika kita memang benar dalam kesulitan, niatkan secara serius untuk keluar dari kesulitan itu. Tunjukkan dalam bentuk upaya nyata. Bukan sekedar speak, lip service. Jika kita belum bekerja dan tergantung pada orang tua, usahakan semaksimal mungkin untuk mencari pekerjaan atau berwirausaha. Jika kita terbentur modal, coba cari tahu apa yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan modal. Buat target sederhana, misalnya mencari cara untuk mendapatkan penghasilan sekedar untuk kehidupan besok. Kalau itu terpenuhi, usahakan bisa untuk lusa. Untuk minggu depan. Untuk bulan depan, sampai kemudian pelan-pelan kita bisa keluar dari kesulitan hidup.

Berhenti dari sosial media. Gunakan uang pulsa untuk keperluan lain yang lebih essensial. Lakukan penghematan semaksimal mungkin. Gunakan uang yang ada sebagai modal, investasi bagi diri kita sendiri. Tidak usah merokok karena tanpa merokok kita tidak akan mati. Kalau mulut asem tidak merokok, lebih baik mulut asem atau kita tidak makan? Pilih mulut asem atau membiarkan anak terganggu uang sekolahnya karena uangnya dipakai untuk membeli rokok?

Jika pernah melamar kerja dan ditolak, coba check berapa kali kita melamar kerja dan kena tolak? Dulu saya punya target, saya belum akan menyerah jika saya mengirim lamaran kerja dibawah 100 dan kena tolak. Sebenarnya angka 100 itu bukan limit, melainkan milestone. Kalau saya mengirim 100 lamaran kerja dan semuanya gagal, saya tinggal naikkan limit. Saya akan berusaha 200x. Saya akan berusaha introspeksi, apa yang bikin saya gagal sampai 100 atau 200x. Apa karena kemampuan saya? Apa karena tampilan saya? Apa karena sikap saya? Apa karena pengetahuan saya? Masya iya 200x melamar kerja gagal semua 100%. Harusnya ada yang nyangkut. Harusnya ada yang minimal mendapat panggilan. Harusnya ada yang sempat interview.

Hidup Sulit Masih Sempat Facebookan?
Image by sasint on Pixabay

Memangnya melamar kerja tidak butuh uang? Iya memang butuh tapi kan nggak besar-besar amat. Seperti yang dibilang diatas, kalau kita masih sempat beli bensin dan pulsa atau malah beli handphone dan jajan, itu artinya kita masih bisa kirim lamaran kerja atau usaha.

Bicara seperti ini mudah kalau tidak mengalami sendiri hal tersebut. Eits jangan salah, saya justru bicara diatas karena pernah mengalaminya. Saya pernah mengalami buntu pemikiran karena gagal berkali-kali. Saya pernah bingung harus melakukan apa karena tidak punya uang tidak punya modal tidak punya koneksi tidak punya kenalan. Tapi kan kita harus berusaha mengatasinya. Bukan sekedar berdiam diri dan lantas menyerah pada nasib.

Sebagai penutup, jangan pernah menyerah pada kekurangan dan kesulitan hidup. Jika kita bersungguh-sungguh berusaha memperbaiki kualitas hidup kita, cepat atau lambat kita akan keluar dari kesulitan yang kita alami. Pada akhirnya, hidup kita milik kita, susah maupun senang, kita juga yang menjalaninya.

Masim Vavai Sugianto

Menu