Menu

Perputaran Roda Kehidupan

Perputaran Roda Kehidupan

Beberapa hari ini saya beredar di Warung Asem, Sumber Jaya, Tambun, kampung kelahiran saya. Karena orang tua sedang sakit, saya menginap beberapa malam disana.

Melihat perkembangan kampung yang sekarang ramai, saya jadi ingat perkembangan dan perubahan kehidupan penduduknya. Ada yang dulunya termasuk orang terkaya di kampung (malah mungkin 1 desa/kelurahan) dan punya toko lengkap satu-satunya sekarang menurun drastis dan menjadi rata-rata orang kebanyakan.

Ada yang dulunya tajir melintir sekarang biasa saja. Yang dulunya punya tanah dan sawah dimana-mana, ibaratnya kalau kita lempar uang logam pakai helikopter atau pesawat, uangnya akan jatuh antara di sawah dia, di kebun dia atau di rumah dan gedung yang ia bangun. Sedemikian luas sampai-sampai uang logam tidak jatuh ke tempat lain 😛

Ada yang dulunya termasuk orang berpangkat kini biasa saja. Ada yang dulunya memiliki jangkauan dan kenalan luas kini biasa saja.

Ada yang karena spekulasi usaha yang kurang berhasil, ada yang karena meninggal dunia, ada yang anak keturunannya kurang bisa mengelola harta warisan dan ada lagi sebagian besar yang tergerus perubahan jaman.

Disisi lain ada banyak orang-orang biasa yang dulu hidupnya dibawah garis kemiskinan namun kini sudah cukup lumayan. Yang dulunya sering dibully sekarang memiliki posisi yang cukup mapan. Yang dulunya memiliki rumah gedek bolong-bolong dengan lantai tanah kini memiliki rumah yang lebih dari sekedar bagus. Yang dulu sekolahnya perlu perjuangan namun kini sudah mendapat pekerjaan atau jabatan yang bagus.

Saat pulang dari rumah orang tua di Jumat malam, saya sempat mampir makan nasi uduk di salah satu warung. Saya kenal baik pemiliknya. Juga anak-anaknya. Jika dilihat sekilas, omset dan pendapatan dari warung nasi uduk itu jauh lebih besar daripada pendapatan pegawai kebanyakan, bahkan untuk level yang cukup tinggi sekalipun. Kalau dulu ibunya yang mengelola, sekarang anak-anaknya yang mengelola. Dengan segala perbaikan, ide peningkatan kualitas dan variasi layanan. Saya yakin kalau mereka mau beli motor tiap bulan atau mau berangkat umroh tiap tahun bisa saja kesampaian.

Image by esiul on Pixabay

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari hal tersebut? Yang pertama adalah adanya perubahan. Hanya yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang akan bisa bertahan. Ini hukum alam. Sukses dimasa lalu belum tentu akan pasti sukses dimasa mendatang. Jaya di masa lalu belum tentu jaya juga dimasa mendatang.

Yang kedua, pendidikan. Anak keturunan yang bersekolah belum tentu menjamin mereka akan sukses dan senang hidupnya, namun pendidikan bisa meningkatkan peluang. Bahwa mungkin tetap gagal itu namanya rezeki dan takdir. Pendidikan tidak menjamin namun bisa menjadi salah satu faktor pembuka jalan. Ada beberapa yang saya kenal yang kemampuannya terbuka berkat pengetahuan di sekolah atau berkat kuliah atau berkat masuk pendidikan tertentu.

Jaman dulu di Bekasi kerap terdengar kabar kalau orang Bekasi asli itu pinter jualan. Cocok jadi sales. Misalnya mau berangkat haji, mereka pinter jual kebun. Mau ada yang menikah, mereka pinter jual sawah. Mau beli motor bukannya menabung atau bekerja tapi minta sama orang tua. Minta orang tua menjual harta warisan lebih dini. Sebagai orang Bekasi asli saya tentu ingin membantah asumsi ini. Sakit hati juga kalau mendengar hal tersebut tapi kan memang banyak kenyataan seperti itu. Sampai ada istilah kita menjadi penggarap di mantan tanah dan sawah kita sendiri. Tentu saja stereotip itu tidak sepenuhnya benar, karena namanya sifat ada di tiap kelompok masyarakat, tidak native orang Bekasi asli. Pengetahuan, pengalaman dan pendidikan bisa membuat stereotip itu lama-lama hilang. Kalau bicara keuletan, orang Bekasi dan orang-orang dari tempat lain juga bisa sama-sama ulet dan disisi lain bisa sama-sama malas juga. Kembali pada diri masing-masing.

Faktor yang ketiga adalah kekompakan. Uang itu tidak kenal sodara (saudara). Sesama keluarga bisa ribut soal uang dan harta warisan padahal tidak ada manfaatnya juga karena nilainya tetap. Bukannya mempertahankan dan memperbesar asset yang ada, ini malah cakar-cakaran berebut harta warisan. Akibatnya pecah hubungan silaturahmi. Lebaran tidak datang berkunjung tidak bertegur sapa. Rezeki jadi mandek karena sesama saudara saja tidak akur. Padahal kalau kompak, bisa saling membantu dalam hal kebaikan. Bisa sama-sama mendorong saudara dan sanak family untuk mencapai level pendidikan yang lebih baik. Kalau diantara keluarga hanya sampai SD, usahakan bisa sampai SMP atau SMA. Kalau diantara keluarga hanya sampai SMA, usahakan sampai ada yang kuliah atau sarjana. Saling dukung dan bergotong royong supaya sama-sama sukses. Kalau sudah bisa saling dukung, perluas jangkauan dan cakupannya agar bisa membantu orang lain di lingkungan kita. Di kampung kita. Di Desa kita. Sampai akhirnya membesar ke masyarakat yang lebih luas.

Didiklah anak-anak dan keturunan kita agar mereka bisa menyesuaikan diri dengan jaman yang akan mereka alami. Tugas kita adalah menyiapkan landasan sebaik-baiknya agar mereka bisa bertahan hidup dan mengembangkan diri. Tidak usah menyesali apa yang sudah lewat atau apa yang sudah tercapai karena meskipun tidak tercapai, hal tersebut memberikan pelajaran yang baik bagi kita.

Pada akhirnya, hidup kita adalah milik kita. Susah maupun senang, kita juga yang menjalaninya. Bukan orang lain bukan pihak lain bukan siapa-siapa melainkan diri dan keluarga kita. Jangan pernah menyerah pada kekurangan dan keterbatasan hidup karena itu hakikatnya adalah tahapan pembelajaran agar kita mampu menyiasati dan melewatinya.

Masim Vavai Sugianto

Menu