Menu

Merencanakan Masa Depan

Merencanakan Masa Depan

Hari Minggu kemarin saya dan keluarga melayat ke salah satu rekan bapak mertua. Rekan bapak mertua saat dulu masih bekerja meninggal dunia karena sakit, jadi selepas fitness di Summarecon kami meluncur untuk turut berbelasungkawa.

Bapak mertua bercerita, bahwa saat dulu masih sama-sama bekerja dan saat butuh uang, rekannya ini yang selalu menolong memberikan pinjaman. My Dear Rey juga bercerita, pernah diajak bapak kesana dan orangnya baik hati dan ramah.

Saat tiba di rumah duka, bapak baru tahu kalau rekannya ini ternyata masih bekerja dengan jarak yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Jika dilihat dari fotonya sudah usia agak lanjut karena jika seumur dengan bapak mertua saja, bapak sudah pensiun di tahun 2008, sekitar 10-11 tahun yang lalu.

Saat pulang kami berdiskusi mengenai kebaikan rekan bapak ini, namun bapak masih tidak habis pikir mengapa sudah seusia itu masih bekerja, karena jarak yang cukup jauh tentu cukup melelahkan. Ada beberapa hal yang bisa dipetik dari diskusi ini, antara lain :

  1. Bapak selalu ingat pada orang-orang yang berjasa pada kehidupan keluarga. Meski jaraknya jauh, tidak menghalangi upaya silaturahmi, apalagi mereka berjasa disaat-saat keluarga membutuhkan bantuan. Perbedaan keyakinan juga bukan sesuatu yang menjadi pembeda, melainkan menjadi penguat rasa kemanusiaan. Saya mengapresiasi bapak yang mengajak anak, menantu dan cucu-cucunya untuk berbelasungkawa, agar juga menghormati orang-orang yang berbuat baik pada kami
  2. Mempersiapkan masa depan merupakan kewajiban yang harus dipikirkan sejak awal, dalam arti agar saat kita tidak memungkinkan untuk bekerja sekeras pekerjaan kita dimasa muda, kita sudah cukup terbantu oleh investasi yang kita lakukan sebelumnya

Point ini tidak terkait dengan almarhum teman bapak tadi, namun secara umum pola pemikiran ini harus menjadi pengingat. Tua itu pasti. Tua itu keniscayaan. Kalaupun tidak tua, berarti takdir kita menentukan batasan waktu kita di dunia tidak sampai usia tua.

Saat dulu masih muda dan belum menikah, saya beberapa kali mendengar orang-orang tua yang menyarankan untuk memperhitungkan usia anak terkait rencana kita menikah. Dulu saya bingung maksudnya bagaimana dan kok malah jadi repot harus memikirkan usia anak kalau calon isteri saja belum ada

Ternyata maksudnya baik. Jika kita memiliki rencana untuk menikah, kita bisa memperhitungkan usia kita dan pasangan, kemungkinan dianugerahi anak hingga anak tersebut masuk masa sekolah dan kuliah. Jangan sampai misalnya saat kita sudah tua dan pensiun, anak-anak masih kecil. Saat anak-anak masih kuliah, kita sudah berhenti bekerja dan tidak memiliki penghasilan tetap. Jika kita masih punya waktu untuk merencanakan, kita bisa memperkirakan hal ini, misalnya menikah dibawah usia 30 tahun dan saat anak lulus kuliah dan siap bekerja, kita baru mencapai usia pensiun.

Perlu diingat, perhitungan diatas tidak menafikan kemungkinan takdir Allah. Misalnya kita sudah berancang-ancang menikah di usia 25 tahun namun ternyata Allah memberikan jalan pada kita untuk menikah di usia 29 tahun, tidak apa-apa. Bukan berarti teorinya gagal atau rencananya berantakan. Kan kita sendiri sering mendengar bahwa manusia boleh berencana namun Tuhan yang menentukan. Persiapan dan perencanaan yang kita lakukan tidak lantas sia-sia, karena kita bisa mengatur ulang rencana atau malah menjadi penyemangat untuk mempersiapkan masa depan sebaik-baiknya.

Merencanakan Masa Depan
Mempersiapkan Masa Depan, Sumber Gambar Pixabay

Kalau sebelumnya saya bicara FIRE (Financial Independence Retirement Early) dalam konteks pensiun dini, fokus saya sebenarnya bukan pada aspek pensiunnya melainkan pada aspek Financial Independence alias Bebas Finansialnya.

Saat kita sudah mencapai tahap bebas finansial, bukan berarti kita harus berhenti bekerja dan berhenti aktivitas dan pensiun awal, melainkan kita memilih pekerjaan yang kita sukai, tidak dalam konteks mencari nafkah melainkan dalam konteks beraktualisasi, menikmati kehidupan. Kita bisa mengurangi waktu atau jam kerja kita, atau melakukan berbagai hal yang menarik dan menyenangkan tanpa harus pusing memikirkan biaya hidup.

Bagaimana caranya bisa mencapai hal tersebut? Cara termudah adalah membalikkan fokus penggunaan penghasilan. Jika belum menabung atau hanya sedikit menabung, harus memiliki tekad untuk bisa menabung atau meningkatkan jumlah tabungan. Pilih tabungan dalam bentuk investasi, yang bisa berkontribusi pada penghasilan kita meskipun awalnya bernilai kecil.

Misalnya gaji kita saat ini 10 juta rupiah per bulan. Setelah satu tahun kita bisa menyisihkan uang sebesar 20 juta sebagai tabungan. Tabungan itu diinvestasikan pada sukuk pemerintah dengan benefit bagi hasil sebesar 8.15% per tahun sebelum dikurangi pajak. Secara hitungan kasar, dari investasi 20 juta, kita bisa mendapatkan benefit 1.6 juta per tahun sebelum dikurangi pajak atau sekitar 1.3 juta per tahun sesudah pajak. Jika dihitung per bulan, benefit yang didapat sekitar 108 ribu rupiah.

Nilai 108 ribu rupiah ini terlihat kecil sekali dibandingkan dengan nilai gaji 10 juta. Hanya 1%. Tapi tidak apa-apa, karena nilai 1% itu kita dapatkan dari benefit investasi, tanpa ada pekerjaan yang kita lakukan setiap harinya. Jika sudah mendapat angka 1%, kita bisa berusaha meningkatkan jumlahnya. Kita juga tidak perlu mengambil benefit yang ada, melainkan mengakumulasikannya kedalam nilai investasi. Agar nilainya semakin mengakumulasi, menjadi compound investment. Di tahun pertama kita mungkin hanya bisa mendapatkan 1% gaji dari nilai investasi. Di tahun kedua kita mungkin bisa menambah nilai pokok investasi sehingga bisa mendapatkan 3% dari gaji. Mengakumulasi terus sampai setelah sekian tahun kita bisa mendapatkan penghasilan yang cukup dari investasi tanpa harus bekerja sekeras yang kita lakukan diawal.

Pola pemikiran diatas tidak jauh berbeda dengan mindset menabung yang sejak kecil sering kita dengar. Bedanya hanya di fokusnya saja. Alih-alih menabung tanpa perencanaan, sekedar menabung untuk jaga-jaga, lebih baik lagi jika tabungan tersebut direncanakan untuk investasi membiayai hidup kita. Bagi saya pribadi misalnya, tidak masalah saya bekerja keras setahun dan hasilnya bisa membiayai hidup saya untuk 2 tahun berikutnya. Semakin awal dan semakin besar kontribusi saya untuk investasi, pada hakikatnya akan mengurangi masa tunggu bebas finansial sekaligus mengurangi lama waktu saya untuk tetap bekerja sekeras biasanya.

Masim Vavai Sugianto

Menu