Menu

Bubble : Dibunuh Kesibukan

Bubble : Dibunuh Kesibukan

Beberapa waktu lalu seorang rekan main ke markas Excellent. Ia bercerita mengenai perusahaan yang ia bangun sejak akhir tahun lalu dan saat ini secara bertahap membesar dengan 8 staff. Jumlah 8 staff itu bahkan aslinya lebih banyak lagi, karena ada staff yang mengundurkan diri namun belum ada penggantinya.

Ia bercerita bahwa belakangan ia hanya bisa tidur 3 jam sehari. Sabtu dan Minggu tetap sibuk, karena harus melanjutkan pekerjaan staff yang belum selesai.

Karena pernah mengalami hal yang sama, saya diam saja. Menunggu ceritanya selesai. Begitu selesai ceritanya, saya berkomentar singkat dengan lagak seperti motivator keren hehehe….

“Kalau seperti itu, nanti akang bakal dibunuh oleh kesibukan. Nggak ketahuan mana driver mana passenger…”

Saat kita memulai usaha, kita memang perlu bekerja keras. Meski demikian, bukan berarti kita melupakan kesehatan dan esensi utama berwirausaha.

Kita menjalani wirausaha niatnya untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita, bukan menyiksa diri kita. Kerja keras memang benar, tapi juga harus cerdas. Jangan-jangan ada proses disisi kita yang salah prosedur sehingga kita terjebak pada kesibukan yang kurang optimal manfaatnya.

Kita malah menjadi penumpang (passenger), malah disetir oleh kesibukan. Harusnya kita menjadi driver, kita yang menyetir dan menentukan kesibukan.

Saya tanya ada berapa total staff yang ada, ia bilang ada 8 staff, itu sudah berkurang karena ada staff yang resign untuk membangun usaha sendiri dan ada yang pindah ke perusahaan lain. Mengingat jenis usahanya adalah software development, potensi terjadinya perpindahan staff atau ada staff yang resign sangat besar.

Team Excellent di Markas Excellent Farm

Saya ingat saat membangun Excellent, butuh waktu beberapa tahun sampai berjumlah 8 orang. Ada rekan-rekan yang dalam beberapa tahun bisa membangun usaha dari jumlah sedikit menjadi ratusan atau ribuan karyawan/staff, namun saya mengukur diri. Masing-masing orang punya kelebihan dan kekurangan. Daripada saya membangun gelembung udara (bubble) yang kelihatan besar namun rapuh didalam, lebih baik saya perkuat pondasi dasarnya.

Saya bukannya tidak senang melihat rekan-rekan yang membangun usaha dan dalam waktu tidak terlalu lama sudah besar dan bagus. Itu keren. Konteks saya adalah jangan sampai membangun usaha supaya kelihatan besar dan keren hanya untuk orang lain, hanya untuk dipandang bagus oleh pihak lain padahal dalamnya keropos dan mudah pecah.

Daripada perusahaan terlihat keren, digadang-gadang sebagai salah satu calon startup menjanjikan namun tiap bulan selalu membakar uang dan kadang tidak amanah memberikan gaji karyawan tepat waktu, tentu jauh lebih elegan jika menyesuaikan diri dengan kapabilitas dan kemampuan hidup, bukan memaksakan diri mengikuti gaya hidup.

Dalam konteks rekan saya, ia meningkatkan jumlah staff dengan pertimbangan ada project yang harus diselesaikan. Mengapa project harus diselesaikan? Karena ada project-project baru yang masuk dan ia tidak kuasa menolaknya. Tepatnya merasa sayang untuk menolak karena seperti menolak rezeki. Mengapa tidak kuasa menolak, karena ia butuh pendapatan untuk membayar staff-staffnya.

Jika dilihat sekilas, sudah terlihat celah sumber masalahnya. Sumber masalahnya adalah ia harus memenuhi tenggat waktu project yang semakin lama semakin banyak dan itu butuh staff. Mengapa project semakin lama semakin banyak karena ia butuh dana untuk membayar staff dan itu datang dari project yang ada. Cyclic kan?

Saya sampaikan padanya bahwa project yang masuk itu belum tentu bisa dipastikan, tapi biaya gaji dan kebutuhan staff itu merupakan suatu kepastian. Artinya, belum tentu tiap bulan ia dapat pendapatan dari project tapi sudah pasti tiap bulan ia harus mengeluarkan biaya untuk gaji dan keperluan usaha.

Solusi yang saya tawarkan ada beberapa, antara lain :

1. Tidak perlu merasa bersalah jika harus menolak project, apalagi jika kita belum bisa menyanggupi tenggat waktunya. Mungkin kita khawatir takut nanti malah nggak dapat project namun disisi lain perlu diingat bahwa jika kita cedera janji menyelesaikan project, reputasi kita akan tergerus dan membuat kita sulit mendapatkan project diwaktu lain.

2. Jangan menambah staff tanpa menyiapkan sumber pendanaannya. Umumnya staff perlu adaptasi, jadi belum tentu beberapa bulan pertama bisa langsung menghasilkan pendapatan

3. Fokus pada peningkatan pendapatan, baru bersiap untuk menambah staff. Project yang masuk bukan berarti pendapatan, karena akan butuh proses untuk menjadi pendapatan. Jadi jangan senang dulu dapat PO dan jangan senang juga sudah kirim invoice. Pendapatan itu dibukukan kalau dana sudah masuk ke rekening kita, bukan dalam bentuk PO dan invoice, karena di dunia ini segala hal bisa terjadi sebelum dapat dipastikan kebenarannya :-)

4. Jangan terlalu mepet menentukan budget penawaran. DP (Down Payment/Uang Muka) harusnya bisa membiayai pekerjaan diawal, syukur-syukur bisa sampai selesai. Jangan sampai DP yang kita minta hanya sanggup memberi nafas beberapa saat sedangkan kita perlu marathon untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada.

Tidak usah khawatir budget yang masuk akal dianggap terlalu tinggi oleh pihak klien, karena jika kita sudah terbukti berkualitas, klien akan mempertimbangkan aspek tersebut, dibandingkan harus menghemat beberapa juta rupiah namun beresiko pada kualitas layanan yang mereka dapatkan.

Sulitnya menulis pengalaman ini karena topiknya debatable. Bukan one-solution-fit-all. Bukan satu solusi untuk semua masalah, jadi perlu penyesuaian terhadap beberapa situasi.

Dan jangan lantas takut untuk berwirausaha. Apa yang tidak mematikan kita akan mendewasakan kita. Minimal, dalam hidup ini kita sudah mencoba apa yang menurut kita baik untuk kita laksanakan. Dan itu bukan sesuatu yang perlu disesali.

Masim Vavai Sugianto

Menu